Takut

Takut

Asap tebal membumbung tinggi, menggantung di langit ruangan seakan bersiap menumpahkan hujannya. Syair-syair kemelut terucap dari bibir penuh kalut, terdengar semrawut namun diyakini mempunyai pengaruh bahkan untuk mengundang maut. Di empat ujung ruangan terpancar cahaya kemerahan yang mencoba menerobos gelap. Di dinding yang berselimut kain hitam legam, terbaca kalimat berbahasa asing, beraksara klasik, membuat hati setiap yang memandangnya mencoba menelisik makna. Parau, suara syair-syair sempat membuat darah berdesir. Pikat, memikat arwah-arwah nestapa yang terjebak maya murka tanpa jeluntrung kepastian.

Terduduk sila lelaki tua berjanggut hitam pendek nan kumal, entah berapa tahun ia tak membasuh raga. Dalam lidahnya, syair-syair bernada rendah membasahi relung atma-atma alam sebelah. Pun keris-keris sadis yang menggoda untuk digenggam.

Aroma wewangian aneh, kembang-kembang berwarna pelangi, lentera merah di empat penjuru, syair-syair yang tertutur rapi, lelaki tua yang mematung, sesekali angin memetik senar-senar bambu, sepertinya hal yang biasa terjadi.

Tapi aku belum terbiasa.

Aku belum terbiasa dengan kesunyian tanggung seperti ini, sedang pada waktu yang sama aku masih melontarkan teriak, teriluminasi oleh cahaya kemerlip, sambil menenggak kehangatan pahit aku berdendang tiada henti.

Di mana aku, aku tak tahu. Hanya berbekal secarik kertas atas rekomendasi kawan lama, disuruhnya aku menemui seseorang untuk memupus derita. Nama desanya pun aneh, seaneh suasana alamnya. Yang aku tahu bahwa desa itu berlokasi di tepian hutan, terselip di antara pegunungan gagah yang sepertinya siap menabrak mimpi-mimpi kemustahilan.

De, ru, sa, kha, kam, nu, kap, re, de, ru, sa, kha, ma, nidap, kakh, re, kap, gam, de, man, ru, sakh, kha, dam, ru, sa, kha, sakh, kha, ne, sa, re, kakh, nidap, ma, kha, sa, ru, de, re, kap, nu, kam, kha, sa, ru, de.

Beberapa saat setelah si tua menghentikan lantunan syair-syair indahnya, tubuhku mendadak terasa menghangat, seperti baru saja meminum arak hangat. Dimulai dari perutku, lalu naik ke dada, merasuk ke kepala hingga menjalar di kedua kaki.

Aku memandang si tua dengan pandangan penuh tanya, dengan ekspresi kecemasan yang kupaksa. Sementara dia hanya diam, pandangannya yang kosong tak memberikanku jawaban apapun, mulutnya yang berhenti menggerutu tak lekas melontarkan alasan. Dan aku ingat betul, aku dilarang keras mengatakan apapun di ruangan ini, bahkan bersendawa saja dapat merusak ritual aneh yang sama sekali tak pernah kukenal.

Diam seribu diam, dalam diam tak kunjung menjumpai jawaban. Sunyi terbalut kesunyian, entah apa yang harus kukatakan. Entah apa yang harus kukatakan sedang aku tak mengerti apa yang sedang kurasakan. Suram bertambah suram.

Aku yang dahulu tak tak kenal ketakutan sekarang penuh ketakutan, bagai terbaluri rasa darah hakiki, padahal sebelumnya aku terbiasa menumpahkan darah bahkan itu milik kawanku sendiri. Entah darimana rasa takut ini muncul, malam ini sungguh membuat setengah nyawaku terlepas dari badan.

Aku dan dia masih diam. Tiada yang ditunggu, tiada yang menanti. Hanya diam.

Sementara itu lentera merah masih mengibarkan api mungilnya, selimut hitam yang membentang tak kunjung bersinar, keris tempaan zaman purba tak bergeming, derit bambu dari luar ruangan terdengar semakin nyaring. Dadaku, sesak terbelit asap kering yang semakin mengaburkan penglihatan. Dan jika ingin tahu sampai kapan ini akan berakhir, coba tanya saja pada kembang berwarna pelangi, mungkin dia akan sama.

Diam.

Diam.

Diam.

Aku mencoba fokus, kupejamkan mata. Mencoba mengusir takut dengan bernyanyi dalam hati. Mencoba memecah kesunyian dalam angan, dengan mengkhayalkan keindahan peri-peri cantik penghuni nirwana.

Tapi mengapa pikiranku kosong?

Kenapa aku tak dapat mengkoordinasikan tubuhku sendiri?

Dadaku tak hanya sesak oleh asap tebal berbau aneh, tapi juga oleh kegelisahan mendalam, dada dan punggungku seakan menyatu, menelungkup seperti halnya kedua telapak tanganku. Otakku serasa lapangan kosong, di mana memori serta instalasi dan ruang-ruang istana alam pikirku? Di mana kuletakkan perabot-perabot berisi khayalan yang biasa kuterbangkan?

Gundah, dalam harap aku pasrah, dalam penat aku ingin merebah, meski sejenak, meski sekejap mata.

Dan jika aku gagal dalam usaha kali ini, aku bersumpah demi setan yang mendekapku aku akan membunuh bedebah yang bersila di depanku. Demi setan!

Surabaya, 17 April 2015

Leave a comment