“Kota Mati”
Aku tak tahu aku dimana sekarang, kulihat jalan-jalan begitu lenggang, lampu jalanan berkedip tak beraturan, orang-orang berjalan lamban dengan ekpresi diam, tak ada yang saling memandang, semua mata hanya tertuju ke depan.
Tak ada suara apapun, hanya angin berhembus kencang yang sesekali menerpa ubun-ubun, tiada suara ngeongan kucing ataupun gonggongan anjing, apalagi teriakan maling. Semua damai, tak ada protes, tak ada demonstrasi, tak ada caci-maki, aku bertanya, apakah ini ketenangan hakiki.
Apa aku memasuki dunia yang salah ataukah mereka yang berkelakuan tak lumrah?
Gedung tinggi mencengkeram langit terlihat pucat, dengan pagar tinggi menjulang menghadang sinar penjaga siang. Terlihat gelap di sana, terbaca dalam pikiran akan kengerian mendalam bersemayam di gedung-gedung pencengkeram, seakan enggan berdiri namun tak ada usaha berarti.
Apakah aku mimpi? Bagaimana bisa senyata ini hingga detil-detil kerut wajah terlihat asli, bayangan mentari yang meninggi juga ekspresi dari orang-orang yang kukira mati.
Sekitar setengah jam aku menyusuri jalan yang amat lebar, aku terbelalak, mataku hampir keluar keheranan, seseorang yang kukenal dulu. Ah tidak! Itu kekasihku yang sekarang, terlihat berdiri tenang di ujung persimpangan dekat patung berjajar, membawa lentera yang bersinar, hingga membuat pertarungan logikaku buyar.
Aku berjalan pelan ke arahnya, menerka siapa sebenarnya orang yang mirip belahan jiwa. Sekira aku berjarak lima meter darinya, kulihat lentera yang tadi berpijar kini padam tiba-tiba, cahaya yang tadi mebuat wajah ayunya berseri kini lenyap, wajahnya terlihat gelap, terlihat bagai seseorang yang memendam rahasia besar, namun sama saja, berekspresi datar.
Sekarang aku berada di hadapannya, padahal seingatku aku belum pernah merasa sedekat ini. Hatiku berdebar kencang bebarengan dengan angin yang sejak tadi mengikuti kemanapun aku pergi. Aku tersenyum lebar didepannya, menatap mesra matanya, kini tak malu lagi walau terasa banyak manusia seliweran di antara kita.
Tapi dia hanya diam.
Senyumku spontan berubah keheranan, mengerenyitkan dahi tanda keheranan, dalam alam pikir aku menerawang, adakah salahku kepadamu sayang? Apa kau masih mengingat kesalahanku dulu? Masih memendam sakit yang kutaburkan dahulu? Masih menumpuk kesalahanku padamu?
Aku tak tahan lagi, dunia ini terasa berbeda bagi diriku, terasa aneh bagi inderaku. Aku mulai berlari menjauh, tujuanku adalah pergi dari kota ini mungkin ke hutan atau tengah laut, asalkan aku selamat dari kesunyian yang semakin berlarut. Aku berlari menuju arah matahari, tak peduli kemana sang mentari akan menuntun diri hina ini. Yang aku tahu hanya menemukan cara untuk lari dari tempat asing ini.
Tak terasa empat hari berlalu sejak aku melarikan diri dari kota mati, kini aku berada di tepian hutan yang penuh duri, tapi aku tak berani masuk, aku tak cukup nyali untuk melawan rasa takut yang kini pelan-pelan merasuk, tak berani membayangkan bagaimana nanti jika duri-duri itu menusuk.
Aku masih mengingatnya, wajah-wajah seram dengan ekspresi datar di tengah kota yang berjarak tiga hari pelarian. Bersamaan dengan bunyi perut yang menggigil kencang, aku berjalan lagi, kembali ke kota mati. Rasa takut akan mati kelaparan mengalahkan rasa sedih menatap kekasih yang bermandikan masa lalu kelam.
Tapi tubuhku semakin lemas, berpikir lagi untuk kembali ke hutan karena siapa tahu kelak aku akan dapatkan pemuas perut keroncongan. Aku dilanda dilema, aku merasa kematian sudah selangkah di depan mata.
Lalu kurebahkan raga kering ini sejenak, berangan jika saja ada orang yang berbaik hati mau memberikan bantuan. Tapi tak ada seorangpun di tepi hutan, hewan buruan, bahkan binatang buas pun sama sekali tak kelihatan. Aku mulai menangis, menyesal telah meninggalkan dunia yang seharusnya memang tempatku habiskan waktu. Aku salah telah meninggalkan orang-orang yang kuanggap teman, aku sedikit mengerti alasan mengapa aku meninggalkan wanita yang aku kasihi. Harusnya aku introspeksi, namun sekarang sudah habis tenggat waktuku untuk menyesali. Cinta yang dulu mereka berikan telah aku sia-siakan, kasih sayang yang secara percuma diberikan telah aku abaikan, kekasih yang tulus mencintai sudah aku khianati.
Sekarang aku kesepian total, aku yang dulu berharap umur panjang hanya bisa pasrah dengan berharap kematian akan datang lebih awal. Aku menimbang, jika kematian dapat menghilangkan penderitaan. Dan jika aku benar-benar mati hari ini, apakah ada jaminan bahwa aku tak lagi menyesali?
Surabaya, 22 November 2014